Salah satu kemajuan terknologi informasi yang diciptakan pada akhir abad ke-20
adalah internet. Jaringan komputer-komputer yang saling terhubung membuat
hilangnya batas-batas wilayah. Dunia maya menginternasionalisasi dunia nyata.
Dunia cyber yang sering disebut dunia maya menjadi titik awal akselerasi
distribusi informasi dan membuat dunia internasional menjadi tanpas
batas. Teknologi informatika saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan kemajuan peradaban dunia,
sekaligus menjadi sarana efektif melawan hukum. Maka untuk menghadapi sifat
melawan hukum yang terbawa dalam perkembangan informasi data di dunia maya
diperlukan sebuah perlawanan dari hukum positif yang ada. “Suatu perbuatan
tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya” hal ini adalah asas
legalitas yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana merupakan salah satu instrumen
dalam menghadapi perbuatan melawan hukum. Maka perlu dikaji lebih mendalam
secara teoritik bagaimana kebijakan hukum pidana yang dalam faktanya sering
kalah satu langkah dengan tindak pidana. Dalam hal ini terhadap kejahatan
penyalahgunaan informasi data di dunia cyber.
Sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE) Pasal 1 angka 1 bahwa :
“Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, poto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal
dalam Undang-undang ITE
Pada awalnya kebutuhan akan Cyber Law di indonesia berangkat
dari mulai banyaknya transaksi-transaksi perdagangan yang terjadi lewat dunia
maya. Atas transaksi-transaksi tersebut, sudah sewajarnya konsumen, terutama
konsumen akhir (end-user) diberikan perlindungan hukum yang kuat agar tidak
dirugikan, mengingat transaksi perdagangan yang dilakukan di dunia maya sangat
rawan penipuan.
Terdapat sekitar 11 pasal yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, yang mencakup hampir 22 jenis
perbuatan yang dilarang. Dari 11 Pasal tersebut ada 3 pasal yang dicurigai akan
membahayakan blogger, pasal-pasal yang mengatur larangan-larangan tertentu di
dunia maya yang bisa saja dilakukan oleh seorang blogger tanpa dia sadari.
Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), serta
Pasal 45 ayat (1) dan (2).
Pasal 27 ayat (1)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pasal 27 ayat( 2)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian
Pasal
27 ayat (3)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran
nama baik.
Pasal 27 ayat (4)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman.
Pasal 28 ayat (1)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.
Pasal 28 ayat (2)
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditnujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antar golongan (SARA).
Atas pelanggaran pasal-pasal tersebut, UU ITE memberikan sanksi
yang cukup berat sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2).
Pasal 45 ayat (1)
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 45 ayat (2)
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pelanggaran Norma Kesusilaan
Larangan content yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 ayat (1) idealnya mempunyai tujuan yang sangat mulia.
Pasal ini berusaha mencegah munculnya situs-situs porno dan merupakan dasar
hukum yang kuat bagi pihak berwenang untuk melakukan tindakan pemblokiran atas
situs-situs tersebut. Namun demikian, tidak adanya definisi yang tegas mengenai
apa yang dimaksud melanggar kesusilaan, maka pasal ini dikhawatirkan akan
menjadi pasal karet.
Bisa jadi, suatu blog yang tujuannya memberikan konsultasi seks
dan kesehatan akan terkena dampak keberlakuan pasal ini. Pasal ini juga bisa
menjadi bumerang bagi blog-blog yang memuat kisah-kisah perselingkuhan,
percintaan atau yang berisi fiksi macam novel Saman, yang isinya buat kalangan
tertentu bisa masuk dalam kategori vulgar, sehingga bisa dianggap melanggar
norma-norma kesusilaan.
Penghinaan
dan Pencemaran Nama Baik
Larangan content yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) ini sebenarnya adalah berusaha
untuk memberikan perlindungan atas hak-hak individu maupun institusi, dimana
penggunaan setiap informasi melalui media yang menyangkut data pribadi
seseorang atau institusi harus dilakukan atas persetujuan orang/institusi yang
bersangkutan.
Bila seseorang menyebarluaskan suatu data pribadi seseorang melalui media
internet, dalam hal ini blog, tanpa seijin orang yang bersangkutan, dan bahkan
menimbulkan dampak negatif bagi orang yang bersangkutan, maka selain
pertanggungjawaban perdata (ganti kerugian) sebagaimana diatur dalam Pasal 26
UU ITE, UU ITE juga akan menjerat dan memberikan sanksi pidana bagi pelakunya.
Dalam penerapannya, Pasal 27 ayat (3) ini dikhawatirkan akan menjadi pasal sapu
jagat atau pasal karet. Hampir dipastikan terhadap blog-blog yang isinya
misalnya: mengeluhkan pelayanan dari suatu institusi pemerintah/swasta, atau
menuliskan efek negatif atas produk yang dibeli oleh seorang blogger, blog yang
isinya kritikan-kritikan atas kebijakan pemerintah, blogger yang menuduh
seorang pejabat telah melakukan tindakan korupsi atau tindakan kriminal
lainnya, bisa terkena dampak dari Pasal 27 ayat (3) ini.
Pasal
Pencemaran Nama Baik
Selain pasal pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE tersebut di atas,
Kitab-Kitab Undang Hukum Pidana juga mengatur tentang tindak pidana penghinaan
dan pencemaran nama baik. Pasal-pasal pidana mengenai penghinaan dan pencemaran
nama baik ini memang sudah lama menjadi momok dalam dunia hukum. Pasal-pasal
tersebut antara lain Pasal 310 dan 311 KUHP.
Pasal
310 KUHP
(1) Barang
siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum diancam
karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan……..
(2) Jika
hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau
ditempelkan dimuka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana
penjara paling lama 1 tahun 4 bulan…”
(3) Tidak
merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan
demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.
Pasal
311 KUHP
“(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran tertulis, dalam
hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak
membuktikannya dan tuduhan dilakukan bettentangan dengan apa yang diketahui,
maka da diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama 4
tahun.”
2.15.
Dampak Positif Dan Negatif Undang-Uundang Informasi Dan Transaksi
Elektronik
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang bisa
disingkat dengan UU ITE yang diterbitkan pada 25 Maret 2008 dengan cakupan
meliputi globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan keinginan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-Undang ini marupakan undang-undang yang
dinilai mempunyai sisi positif dan negatif.
1. Sisi Positif
UU ITE
Berdasarkan dari pengamatan para pakar hukum dan politik UU ITE
mempunyai sisi positif bagi Indonesia. Misalnya memberikan peluang bagi bisnis
baru bagi para wiraswastawan di indonesia karena penyelenggaraan sistem
elektronik diwajibkan berbadan hukum dan berdomisili di indonesia. Otomatis
jika dilihat dari segi ekonomi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain
pajak yang dapat menambah penghasilan negara juga menyerap tenaga kerja dan
meninggkatkan penghasilan penduduk.
UU itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan
internet yang merugikan, memberikan perlindungan hukum terhadap transaksi dan
sistem elektronik serta memberikan perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi
misalnya transaksi dagang. Penyalahgunaan internet kerap kali terjadi seperti
pembobolan situs-situs tertentu milik pemerintah. Kegiatan ekonomi lewat
transaksi elektronik seperti bisnis lewat internet juga dapat meminimalisir
adanya penyalahgunaan dan penipuan.
UU itu juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
di luar Indonesia dapat diadili. Selain itu, UU ITE juga membuka peluang kepada
pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet. Masih banyak
daerah-daerah di indonesia yang kurang tersentuh adanya internet. Undang-undang
ini juga memberikan solusi untuk meminimalisir penyalahgunaan internet.
2. Sisi Negatif
UU ITE
Selain memiliki sisi positif UU ITE ternyata juga terdapat sisi
negatifnya. Contoh kasus Prita Mulyasari yang berurusan dengan Rumah Sakit Omni
Internasional juga sempat dijerat dengan undang-undang ini. Prita dituduh
mencemarkan nama baik lewat internet. Padahal dalam undang-undang konsumen
dijelaskan bahwa hak dari konsumen untuk menyampaikan keluh kesah mengenai
pelayanan publik. Dalam hal ini seolah-olah terjadi tumpang tindih antara UU
ITE dengan UU konsumen. UU ITE juga dianggap banyak oleh pihak bahwa
undang-undang tersebut membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan
pendapat, dan menghambat kreativitas dalam berinternet. Padahal sudah jelas
bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengeluarkan
pendapat. Undang-undang ini menimbulkan suatu polemik yang cukup panjang. Maka
dari itu muncul suatu gagasan untuk merevisi undang-undang tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar